Copypaste : http://Jurnalnet.com
Sufi atau lebih dikenal dengan mistis adalah bagian dari khasanah keislaman. Wacana sufi ini bukanlah sesuatu yang baru dalam Islam. Sebab, wacana ini telah ada semenjak zaman Nabi Muhammad SAW ratusan tahun silam. Akan tetapi dalam perkembangannya, sufi seakan berevolusi dalam hal kontekstualisasi pemaknaan dan penafsirannya. Hal ini disebabkan oleh perubahan kebudayaan serta cara pandang manusia di zaman modern ini. Sehingga, mau tidak mau pemaknaan terhadap ajaran sufi harus di sesuaikan dengan kondisi tersebut. Agar tidak ditinggalkan begitu saja oleh kalangan umat Islam.
Tidak sedikit umat islam di zaman modern ini yang sudah melupakan ajaran-ajaran sufistik dengan rasionalisasi yang mereka kemukakan. Sebagian orang mengatakan bahwa kemunduran Islam dikarenakan umatnya yang masih berpegang pada ajaran-ajaran sufi. Sebagian lain menyatakan bahwa percaya kepada ajaran sufi adalah percaya kepada hal-hal yang bersifat mistik yang membelenggu pemikiran dan penafsiran. Pikiran terkungkung oleh ajaran normative sufi. Sebagian lain lagi berpendapat agak berbeda, secara agak sedikit radikal bahwa ajaran-ajaran sufi adalah ajaran yang berlebihan, serta tidak sesuai dengan ajaran islam sesungguhnya.
Sebenarnya, rasionaliasi yang demikian lah yang membuat kemunduran Islam. Sebab, rasionalisasi yang demikian merupakan ungkapan orang-orang orientalis-fundamentalis yang ingin memecah belahkan Islam. Orientalis adalah musuh dalam selimut bagi Islam. Karena mereka ingin menghancurkan Islam dari dalam, padahal mereka mempelajari Islam, namun dengan kepentingan meluluhlantakkan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam. Ironisnya, mereka berhasil dengan pekerjaannya. Sehingga umat Islam percaya begitu saja dengan statement yang dikemukakan oleh kalangan orientalis-fundamentalis tentang sufi atau pun tasawuf.
Secara terminologis sufi atau pun tasawuf adalah usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT sedekat-dekatnya. Sufi menwarkan jalan-jalannya sebagai proses tersebut, diantaranya; taubah, wara’, zuhud, tawakkal, shobr, ridla, faqir, syukur, khauf, raja’, mahabbah, ‘isyq, dan uns. Apabila kita maknai kembali secara mendalam bahwa ketigabelas konsep sufi tersebut, maka, akan terasa relevansinya dalam kehidupan sosial manusia. Misalnya, kalimat khauf (takut), jika dikontekstualisasikan dalam kehidupan sosial, justru akan memberikan sebuah pengertian melarang kepada kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan jahat, karena ketakutannya akan hukuman Allah SWT kelak. Maka, tidak akan terjadi sebuah penyimpangan dalam hiduap manusia karena ketakutannya tersebut. Begitu pula kalimat-kalimat yang lainnya.
Singkatnya, melupakan ajaran tasawuf justru akan membuat Islam semakin terbelakang dan dilupakan oleh zaman. Ketidakpeduliaan kita akan ajaran tasawuf justru dimanfaatkan orang-orang Barat untuk dijadikan sebuah disiplin ilmu pengetahuan. Sehingga muncullah sebuah disiplin ilmu tentang psikologi sufistik. Karena, ilmu psikologi pada dasarnya merupakan buah ajaran tasawuf atau sufi. Sufi menekankan aspek kejiwaan manusia untuk ditata dengan baik sebagai modal awal mendekatkan diri kepada Allah. Begitu pula ilmu psikologi menekankan aspek kejiwaan manusia yang harus dikaji guna mengetahui gejala-gejalan kejiwaan atau psikologis manusia.
D. Zawawi Imron secara tidak langsung ingin memberikan pesannya kepada kita agar tidak melupakan ajaran-ajaran sufi serta menghilangkan sempitnya penafsiran dan pemahaman kita akan makna sufi. Meskipun tidak terlalu komprehensif pembahasan dalam buku ini, namun paling tidak nilai-nilai sufi yang terkandung di dalam buku ini cukup untuk menggungah dan membuka cakrawala pikiran kita, khususnya umat Islam, akan makna sufi yang sesungguhnya. *) Penulis Resensi adalah mahasiswa BKI Fak. Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta .
JUDUL buku : Soto Sufi Dari Madura
PENULIS : D. Zawawi Imron
CETAKAN : Pertama, Agustus 2008
PENERBIT : Hikayat Publishing
TEBAL : xii + 92 Halaman